1.
Model Belajar Kerjasama ( Cooperative Learning Model
)
A. Pengertian
Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut
Davidson dan Warsham “Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang
mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang
berefektifitas yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan
akademik”. Slavin menyatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah suatu model
pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok
kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang dengan struktur
kelompok heterogen”. Jadi dalam model pembelajaran kooperatif ini, siswa
bekerja sama dengan kelompoknya untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan
begitu siswa akan bertanggung jawab atas belajarnya sendiri dan berusaha
menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan pada
mereka.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah
model pembelajaran yang mengutamakan pembentukan kelompok yang bertujuan untuk
menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif.
B. Tujuan Model
Pembelajaran Kooperatif
Tujuan model pembelajaran kooperatif
adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai
keragaman dari temannya serta pengembangan keterampilan sosial. Johnson &
Johnson menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan
belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara
individu maupun secara kelompok. Louisell dan Descamps juga menambahkan, karena
siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan sendirinya dapat dapat memperbaiki
hubungan diantara para siswa dari latar belakang etnis dan kemampuan,
mengembangkan keterampilan-keterampilan proses dan pemecahan masalah.
Jadi inti dari tujuan pembelajaran
kooperatif adalah untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa,
dan memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar
bersama-sama siswa lainnya.
C. Prinsip
Dasar Model Pembelajaran Kooperatif
Prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif sebagai
berikut:
1) Setiap anggota
kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam
kelompoknya dan berpikir bahwa semua anggota kelompok memiliki tujuan yang
sama.
2) Dalam kelompok terdapat pembagian tugas
secara merata dan dilakukan evaluasi setelahnya.
3) Saling membagi kepemimpinan antar
anggota kelompok untuk belajar bersama selama pembelajaran.
4) Setiap anggota kelompok bertanggungjawab
atas semua pekerjaan kelompok.
Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif sebagai
berikut:
1) Siswa dalam kelompok bekerja sama
menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
2) Kelompok
dibentuk secara heterogen.
3) Penghargaan
lebih diberikan kepada kelompok, bukan kepada individu.
Pada model pembelajaran kooperatif memang ditonjolkan
pada diskusi dan kerjasama dalam kelompok. Kelompok dibentuk secara heterogen
sehingga siswa dapat berkomunikasi, saling berbagi ilmu, saling menyampaikan
pendapat, dan saling menghargai pendapat teman sekelompoknya.
2.
Model Pendekatan Taktis
Pendekatan
taktis mendorong siswa untuk memecahkan masalah taktik dalam permainan. Masalah
ini pada hakikatnya berkenaan dengan peberapan keterampilan teknik dalam
situasi permainan. Dengan demikian siswa makin memahami kaitan antara teknik
dan taktik. Keuntungan lainnya, pendekatan ini tepat untuk mengajarkan
keterampilan bermain sesuai dengan keinginan siswa. Tujuan utama dari
pendekatan taktis dalam pengajaran permainan adalah untuk meningkatkan
pemahaman siswa terhadap konsep bermain.
Pendekatan taktik bermain membantu
memikirkan guru untuk menguji kembali pandangan filosofis mereka pada
pendidikan bermain. Model mengajar ini memungkinkan siswa untuk menyadari
keterkaitan antara bermain dan peningkatan penampilan bermain mereka. (Subroto
2001 : 4) menjelaskan tentang tujuan pendekatan taktis secara spesifik yaitu
untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang konsep bermain melalui penerapan
teknik yang tepat sesuai dengan masalah atau situasi dalam permainan.
Model pembelajaran permainan
taktikal menggunakan minat siswa dalam suatu struktur permainan untuk
mempromosikan pengembangan keterampilan dan pengetahuan taktikal yang
diperlukan untuk penampilan permainan. Sedangkan pembelajaran masuk ke dalam
alam pikir siswa, sehingga terbentuk struktur pengetahuan tertentu.
Pembelajaran pendekatan taktikal dalam pendidikan jasmani adalah bagian dari
pembelajaran kognitif.
Pada model pembelajaran permainan
taktikal, guru merencanakan urutan tugas mengajar dalam konteks pengembangan
keterampilan dan taktis bermain siswa, mengarah pada permainan yang sebenarnya.
Tugas-tugas belajar menyerupai permainan dan modifikasi bermain sering disebut
juga “bentuk-bentuk permainan”. Penekanannya pada pengembangan pengetahuan
taktikal yang memfasilitasi aplikasi keterampilan dalam permainan, sehingga
siswa dapat menerapkan kegiatan belajarnya saat dibutuhkan. Pada intinya adalah
siswa dapat mengembangkan keterampilan dan taktis bermain secara berkesinambungan.
Dalam strategi pembelajaran
pendekatan taktis yaitu lebih menekankan pada konsep game-drill-game. Game
yaitu bermain, siswa dituntut untuk bermain dengan konsep-konsep yang yang
diberikan oleh guru dan memahami tentang permainan itu. Drill yaitu
pengulangan, guru harus lebih teliti melihat permainan siswanya dan apabila
terjadi kesalahan dalam tugas gerak maka guru menghentikan pembelajaran dan
memberikan contoh gerakan yang benar kemudian siswa melakuakn tugas gerak.
Kemudian game yaitu bermain, setelah melakukan pengulangan atau drill siswa
kembali melakukan permainan dengan perubahan tugas gerak yang telah dilakukan
pada tugas drill. Pembelajaran melalui model pembelajaran pendekatan taktis
membiasakan siswa untuk melatih kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pembelajaran taktikal mengutamakan
pada pemanfaatan “masalah-masalah taktikal” sebagai perantara dan tujuan
pembelajaran. Guru harus mampu menunjukan masalah-masalah taktis yang
diperlukan dalam situasi bermain. Sedangkan bagi siswa, sangat penting untuk
mengenali posisi bermain di lapangan secara benar, pilihan-pilihan gerak yang
mungkin dilakukan, dan situasi-situasi bermain yang dihadapi siswa.
Kesadaran akan taktik, menggunakan
dasar kemampuan untuk menekankan masala-masalah taktik yang muncul selama
permainan. Hal itu sekaligus dapat memilih respons tersebut, mungkin terletak
pada keterampilan gerak dalam penguasaan bola, seperti passing, dribling dan
shooting dalam permainan bola tangan. Tujuan utama dalam mengajarkan
olahraga di dalam pendidikan jasmani adalah untuk kesenangan, keterlibatan
aktif, dan peningkatan keterampilan siswa yang bedampak positif terhadap
hidupnya. Dalam proses pembelajaran, tujuan tersebut akan tercapai dan tidaknya
tergantung pada bagaimana metode/ pendekatan keterampilan mengajar yang
diterapkan guru kepada siswa dalam mengajar.
Selama ini dalam proses pengajaran
pendididikan jasmani di sekolah masih ada guru yang menganut sistem pendekatan
yang bersifat tradisional, yang menekankan pengajaran hanya pada penguasaan
keterampilan atau teknik dasar suatu cabang olahraga. Meskipun format/ konsep
pengajaran seperti itu memang bisa meningkatkan penguasaan teknik siswa, tetapi
kekurangannya adalah bahwa keterampilan teknik dasar diajarkan kepada siswa
sebelum siswa mampu memahami keterkaitan atau relevansi teknik-teknik dasar
tersebut dengan penerapannya di dalam permainan yang sebenarnya, akibatnya
sifat kesinambungan dari implementasi teknik dasar ke dalam permainan menjadi
terputus. Untuk menghindari hal tersebut sekarang sudah dikenal suatu sistem
pendekatan yang dirasakan lebih cocok untuk diterapkan dalam mengajar penjas
terutama yang terkait dengan mengajar untuk olahraga-olahraga yang bersifat
permainan yaitu sistem "pendekatan taktis".
Pengajaran melalui pendekatan taktis
ini berusaha menghubungkan kemampuan taktis bermain dan keterampilan teknik
dasar dengan menekankan pemilihan waktu yang tepat untuk melatih teknik dasar
dan aflikasi dari pada teknik dasar tersebut ke dalam keterkaitannya dalam
kemampuan taktis bermain, sehingga mampu merangsang siswa untuk befikir dan
menemukan sendiri alasan-alasan yang melandasi gerak dan penampilannya (peformance).
Selain itu sistem pendekatan taktis ini dapat dipakai untuk menghindari dari
ketidak tercapaiannya tujuan/ target kompetensi yang diajarkan karena minimnya
pasilitas yang ada pada sekolah, ataupun dikarenakan alokasi waktu yang sedikit
yang diberikan untuk mata pelajaran penjas ini.
Dalam pelaksanaannya pendekatan
taktis ini memanfaatkan bentuk-bentuk permaianan yang dimodifikasi. Penulis
contohkan di sini misalnya pada permainan bola voli, bentuk modifikasinya
seperti ukuran lapangan diperkecil, tinggi tiang net diperpendek, jumlah pemain
bisa dikurangi atau ditambah. Modifikasi ini disesuaikan dengan kemampuan
keterampilan siswa dan sarana yang ada.
Di bawah ini dipaparkan salah satu contoh sederhana
penerapannya dalam
praktik. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Bentuk beberapa kelompok siswa yang terdiri dari tiga orang. Tiga orang
siswa pertama tempatkan dilapangan (setengah lapangan) dengan posisi membentuk
segitiga dengan masing-masing memiliki tugas, orang kesatu bertugas sebagai
penerima bola pertama yang akan diberikan kepada orang kedua yang bertindak
sebagai pengumpan (tosser), dan orang ketiga sebagai spaiker.
2. Setelah menempati posisi sesuai dengan tugasnya masing-masing latihan dapat
dimulai dengan memainkan bola diawali oleh guru yang memberikan bola kepada
orang pertama selanjutnya dari orang pertama diberikan kepada orang kedua
dengan cara di passing dan dari orang kedua selanjutnya
diumpankan kepada orang ketiga untuk dismash.
3. Setelah selesai melakukan latihan yang pertama maka siswa diputar bergantian
posisi, orang kesatu diganti oleh orang ketiga, orang kedua diganti oleh orang
kesatu, dan orang ketiga diganti oleh orang kedua dan seterusnya sampai semua
siswa dapat melakukan dan merasakan posisi-posisi tersebut. Setelah semuanya
selesai ganti dengan kelompok berikutnya. Lakukan hal yang sama seperti penjelasan di atas. Lihat gambar di bawah ini:
4. Setelah semua kelompok selesai berlatih dapat dilanjutkan dengan game dalam
bentuk yang dimodifikasi sesuai dengan kemampuan keterampilan siswa.
3.
Model Mengajar Inkuiry
Model pembelajaran inkuiri diciptakan oleh Suchman
(1962) dengan alasan ingin memberikan perhatian dalam membantu siswa
menyelidiki secara independen, namun dalam suatu cara yang teratur. Ia
menginginkan agar siswa menanyakan mengapa sesuatu peristiwa itu terjadi,
memperoleh dan mengolah data secara logis, dan agar siswa mengembangkan
strategi intelektual mereka untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Inkuiri adalah
suatu pencarian makna yang mensyaratkan seseorang untuk melakukan sejumlah
operasi intektual untuk menciptakan pengalaman. Pada prinsipnya model inkuiri
merupakan model yang menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa di
samping juga pada guru, dan yang terutama dalam model inkuiri adalah siswa
didorong untuk terlibat secara aktif dalam menyelesaikan suatu topik
permasalahan hingga sampai pada suatu kesimpulan. Latihan inkuiri dapat
diberikan pada setiap tingkatan umur (mulai dari Taman Kanak-kanak dan
seterusnya), namun tentunya dengan tingkat kesulitan masalah yang berbeda.
Selain itu Metzler (2000:333) juga mengemukakan
pendapatnya bahwa: “The inquiry model can be effective at all grades
if the levels of cognitive and psychomotor problems given to student match their
developmental readiness.” Maksudnya adalah model inkuiri bisa efektif untuk
seluruh tingkatan kelas seandainya tingkat permasalahan kognitif dan psikomotor
yang diberikan pada siswa sesuai dengan kesiapan perkembangannya. Masih menurut
pendapat Metzler (2000:312) bahwa: “Inquiry teaching model is used
in many schools in the United States and abroad, most often at the elementary
grades.” Jadi model pembelajaran inkuiri ini digunakan oleh banyak sekolah
di Amerika Serikat dan negara lainnya pada tingkat SD.
Dari pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan model inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara
langsung ke dalam proses ilmiah dengan waktu yang relatif singkat. Inkuiri
tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang
ada, termasuk pengembangan emosional. Proses inkuiri dapat dimulai pertama-tama
dengan mencari informasi dan data dengan menggunakan human sense,
seperti melihat, mendengar, menyentuh, mencium, dan merasakan (www.thirteen.org/
edonline/concept2class/ monthh6/index_sub1.htm1). Kegiatan inkuiri
tidak terjadi dengan sendirinya, namun harus diciptakan kondisi yang
memungkinkannya untuk itu.
Berikut
ini akan dipaparkan contoh penerapan model pembelajaran inkuiri dalam pelajaran
pendidikan jasmani.
Kegiatan
Pembelajaran:
A.
Pemanasan:
1. Berbaris, berdoa dan
mengabsen.
2. Melakukan lari,
peregangan dinamis dan statis.
3. Penjelasan tentang
materi inti yang akan dilakukan pada kegiatan
selanjutnya.
Hal
yang perlu diingat bahwa dalam pemanasan ini siswa diberi kebebasan untuk
memimpin pemanasan tanpa harus diatur atau dikomando oleh guru. Fungsi guru
hanya mengawasi saja.
B.
Kegiatan Inti:
Siswa
dibagi menjadi empat kelompok dalam barisan berbanjar dan saling berhadapan
dengan jarak yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, lalu materi yang
diberikan adalah:
·
Melakukan berbagai keterampilan dasar
permainan kasti atau rounders dengan baik (melambungkan, melempar, menangkap).
Tahap
pertama: Menyajikan pertanyaan atau masalah. Pada tahap ini guru mengajukan
pertanyaan atau masalah, dan guru membimbing siswa untuk mengidentifikasi
masalah.
Kegiatan
yang berlangsung dalam PBM:
Guru : Coba jelaskan bagaimana cara melempar dan
menangkap bola?
Siswa: memperhatikan dan mendengarkan pertanyaan
yang diberikan oleh
guru.
Tahap
kedua: Membuat hipotesis. Pada tahap ini guru memberikan kesempatan pada siswa
untuk curah pendapat dalam membentuk hipotesis.
Kegiatan
yang berlangsung dalam PBM:
Guru:
Membiarkan siswa untuk berpikir dan berhipotesis tentang bagaimana caranya agar
bisa melempar dan menangkap bola.
Siswa:
berpikir dan berhipotesis untuk dapat menjawab pertanyaan yang diberikan oleh
guru.
Tahap
ketiga: Merancang percobaan. Pada tahap ini guru memberikan kesempatan pada
siswa untuk menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan hipotesis yang akan
dilakukan. Guru membimbing siswa mengurutkan langkah-langkah percobaan.
Misalnya: guru memberi kesempatan pada siswa untuk menjelaskan urutan tentang
cara melempar dan menangkap dengan cara mereka sendiri, siswa menjelaskan secara
verbal dan siswa belum mempraktekkan dengan gerakan.
Kegiatan
yang berlangsung dalam PBM:
Guru: memberi kesempatan pada siswa untuk
menjelaskan cara melempar
dan
menangkap bola dengan cara mereka sendiri.
Siswa:
menjelaskan secara verbal cara melempar dan menangkap bola dengan hasil pikiran
mereka sendiri, dan siswa belum mempraktekkannya dengan gerakan.
Tahap
keempat: Melakukan percobaan untuk memperoleh informasi. Pada tahap ini guru
membimbing siswa mendapatkan informasi melalui praktek.
Kegiatan
yang berlangsung dalam PBM:
Guru: memberi kebebasan pada siswa untuk mencoba dan
mempraktekkan
cara melempar dan
menangkap bola dengan hasil pikiran dan temuan mereka sendiri. Dalam hal ini
guru membimbing dan mengawasi siswa.
Siswa: mencoba dan mempraktekkan cara melempar dan
menangkap bola
dengan
hasil pikiran dan temuan mereka sendiri.
Tahap
kelima: Mengumpulkan dan menganalisis data. Setelah seluruh siswa mempraktekkan,
guru memberi kesempatan pada siswa untuk menjelaskan tentang cara melempar dan
menangkap berdasarkan hasil temuan masing-masing siswa, dan peran guru di sini
adalah menganalisis hasil temuan siswa.
Kegiatan
yang berlangsung dalam PBM:
Guru:
dapatkah kalian menjelaskan dan mendemonstrasikan pada saya cara melempar dan
menangkap bola?
Siswa: Berpikir dan bergerak
Tahap
keenam: Membuat kesimpulan. Pada tahap ini guru membimbing siswa dalam membuat
kesimpulan. Maksudnya guru memberi kesempatan pada siswa untuk menyimpulkan tentang
hasil temuan siswa.
Kegiatan
yang berlangsung dalam PBM:
Guru:
saya melihat kalian sudah dapat melempar dan menangkap bola, sekarang saya
ingin anda simpulkan tentang cara melempar dan menangkap bola.
Siswa:
menyimpulkan tentang cara melempar dan menangkap bola secara
verbal
dan juga dengan gerakan.
C.
Penutup:
1.
Siswa berbaris dan melakukan gerakan-gerakan sederhana untuk penenangan
2.
Evaluasi dan kesimpulan hasil belajar
3.
Berdoa
Hal
yang perlu diingat bahwa dalam penutup ini siswa diberi kebebasan untuk
melakukan pendinginan tanpa harus diatur atau dikomando oleh guru. Fungsi guru
hanya mengawasi saja. Dalam penutupan pembelajaran, evaluasi akan dilakukan
oleh guru dengan cara bertanya pada siswa tentang apa yang telah mereka
kerjakan dan apa yang mereka temukan. Jawaban siswa dapat bersifat verbal
ataupun dengan mendemonstrasikan melalui gerak. Karakteristik yang unik dari
model inkuiri adalah didasarkan pada pertanyaan (question-based teaching),
dan berbagai strategi yang di dalamnya termasuk merumuskan seperangkat prosedur
yang saling berkaitan yang dapat digunakan guru untuk memfasilitasi pemikiran,
pemecahan masalah, dan eksplorasi siswa dalam pendidikan jasmani.
Dalam pelaksanaan model pembelajaran inkuiri, guru
tetap mengontrol hampir keseluruhan pembelajaran. Guru memberikan kerangka
permasalahan dengan memberikan sebuah pertanyaan, memberikan siswa kesempatan
untuk menciptakan dan mengeksplorasi satu atau lebih solusi, dan kemudian menanyakan
siswa untuk mendemonstrasikan solusinya sebagai bukti bahwa telah
berlangsung
pembelajaran. Setelah guru membuat kerangka permasalahan dan siswa mulai
berpikir dan bergerak, maka siswa yang menentukan bagaimana mereka terlibat
untuk mengeksplorasi jawaban-jawaban yang mungkin. Sedangkan dalam prosedur
pembelajaran inkuiri, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Menurut Joyce and
Weil (1980) pembelajaran inkuiri mempunyai lima tahapan, yaitu sebagai berikut:
1)
Tahap pertama: Penyajian masalah atau menghadapkan siswa kepada situasi
teka-teki. Pada tahap ini guru menyajikan masalah dan menentukan prosedur
inkuiri pada siswa (berbentuk pertanyaan yang hendaknya dijawab dengan “ya”
atau “tidak”).
2)
Tahap kedua: Pengumpulan dan verifikasi data. Pada tahap ini siswa mengumpulkan
informasi tentang peristiwa yang mereka lihat atau alami.
3)
Tahap ketiga: Mengumpulkan unsur baru. Pada tahap ini siswa mengajukan unsur ke
dalam suatu situasi untuk melihat perubahan yang
terjadi.
4)
Tahap keempat: Meneruskan penjelasan. Pada tahap ini guru mengajak siswa
merumuskan penjelasan.
5)
Tahap kelima: Mengadakan analisis tentang proses inkuiri. Pada tahap ini siswa
diminta untuk menganalisis pola-pola penemuan mereka.
Sedangkan
menurut Sudjana (1989; dalam Trianto 2007:142) ada lima tahapan yang ditempuh
dalam melaksanakan pembelajaran inkuiri yaitu:
a) Tahap pertama : Merumuskan masalah untuk
dipecahkan oleh siswa.
b)
Tahap kedua : Menetapkan jawaban sementara atau lebih dikenal dengan istilah
hipotesis.
c)
Tahap ketiga : Mencari informasi, data, dan fakta yang diperlukan untuk menjawab
hipotesis atau permasalahan.
d) Tahap keempat: Menarik kesimpulan jawaban atau
generalisasi.
e) Tahap kelima: Mengaplikasikan kesimpulan.
4.
Model Mengajar Teman Sebaya
Proses
pembelajaran seharusnya menempatkan siswa sebagai subyek mempunyai potensi
dasar masing yang dapat berkembang bukan sebagai obyek yang hanya dapat
dibentuk semau pendidik. Mereka membutuhkan dorongan eksternasl untuk
menumbuhkembangkan potensi internal siswa. Setiap pendidik harus memiliki
pemahaman bahwa semua siswa memiliki kelebihan atau potensi yang bervareasi
untuk berhasil. Jadi keberhasilan itu merupakan sebuah permata yang dapat
menjadi milik semua orang. Keanekaragaman potensi atau kemampuan yang dimiliki
siswa dalam memahami sebuah konsep sering menimbulkan masalah, antara lain
kadang ada siswa yang sangat cepat memahami dan ada yang merasakan kesulitan
tetapi merekan segan bahkan merasa takut untuk bertanya kepada guru, apa lagi
kalau guru tersebut kurang menyenangkan. Kesulitan yang dialami oleh sekelompok
siswa tersebut dapat diatasi dengan cara melibatkan teman sebayanya dalam
pembelajaran atau guru menerapkan pembelajaran dengan metode tutor sebaya.
Yang
dimaksud tutor sebaya adalah seorang atau beberapa orang siswa yang ditunjuk
dan ditugaskan untuk membantu siswa-siswa tertentu yang mengalami kesulitan
memahami materi dalam belajar. Bantuan yang diberikan oleh teman sebaya pada
umumnya dapat memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini terjadi karena hubungan
antar siswa terasa lebih dekat dibandingkan dengan hubungan antara siswa dan
guru (Moh. Surya, 1985). Tutor sebaya adalah suatu model pendekatan bimbingan
dimana satu anak (tenaga ahli) mengarahkan anak yang lain (orang baru ataupun kurang
ahli) dalam suatu materi tertentu. Tutor sebaya terjadi ketika tenaga ahli
(tutor) dan orang baru (tutee) memiliki kesamaan atau kesetaraan usia.
Dikemukakan Damon dan Phelp (Kalkowsky, 2004:1). Menurut M. Sobry Sutikno
(2007), beliau mengatakan bahwa untuk mencapai hasil belajar yang optimal,
dianjurkan agar pendidik membiasakan diri menggunakan komunikasi banyak arah
atau komunikasi sebagai transaksi, yakni komunikasi yang tidak hanya melibatkan
interaksi dinamis antara pendidik dengan siswa melainkan juga melibatkan
interaksi dinamis antara siswa yang satu denga siswa yang lainnya. Kunandar
(2007) mengatakan bahwa metode pembelajaran yang sangat ditekankan dalam
pembelajaran tuntas adalah pembelajaran individual, pembelajaran sejawat (peer
instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai metode (multi metode)
pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok. Kemudian Hamzah B. Uno
(2007) mengatakan bahwa metode pertemuan adalah model pembelajaran yang
ditunjukkan untuk membangun suatu kelompok social yang saling menyayangi,
saling menghargai, mempunyai kedisiplinan yang tinggi, dan komitmen berprilaku
positif. Oleh karena itu guru selalu disarankan agar dapat melaksanakan
pembelajaran dalam kelompok –kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok
yang anggotanya heterogen, yang pandai mengajari yang lambat/lemah, yang tahu
member tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap/mengerti mendorong temannya
yang lambat , yang mempunyai gagasan segera member usul , dan seterusnya
(Trianto, 2007) Teori Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif anak
sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan
lingkungan. Sementara Nur (dalam Trianto, 2007) menyatakan bahwa interaksi
sosial.
Jadi Pembelajaran
dengan bantuan tutor sebaya adalah suatu metode pembelajaran yang melibatkan
siswa menjadi pengajar setelah dipilih oleh guru berdasarkan kriteria tertentu
yang didukung dengan prestasinya yang lebih tinggi dari kelompoknya untuk
membantu teman-temanya sendiri yang mengalami kesulitan belajar. Tutor sebaya
dikenal dengan pembelajaran teman sebaya atau antar peserta didik, hal ini bisa
terjadi ketika peserta didik yang lebih mampu menyelesaikan pekerjaannya
sendiri dan kemudian membantu peserta didik lain yang kurang mampu.
Alternatifnya, waktu khusus tiap harinya harus dialokasikan agar peserta didik
saling membantu belajar Olahraga , bahasa atau pelajaran lainnya, baik
satu-satu atau dalam kelompok kecil. Tutor Sebaya merupakan salah satu strategi
pembelajaran untuk membantu memenuhi kebutuhan peserta didik. Ini merupakan
pendekatan kooperatif bukan kompetitif. Rasa saling menghargai dan mengerti
dibina di antara peserta didik yang bekerja bersama. Tutor sebaya akan merasa
bangga atas perannya dan juga belajar dari pengalamannya. Hal ini membantu
memperkuat apa yang telah dipelajari dan diperoleh atas tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya. Ketika mereka belajar dengan “tutor sebaya”, peserta
didik juga mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk mendengarkan, berkonsentrasi,
dan memahami apa yang dipelajari dengan cara yang bermakna. Penjelasan tutor
sebaya kepada temannya lebih memungkinkan berhasil dibandingkan guru. Peserta
didik melihat masalah dengan cara yang berbeda dibandingkan orang dewasa dan
mereka menggunakan bahasa yang lebih akrab.
II. Peran dan
Manfaat Pembelajaran Metode Tutor Sebaya
a. Peran Tutor Sebaya dalam menyelesaikan Tugas-tugas gerak dalam
Olahraga , pengajaran tutor sebaya sering digunakan untuk membantu para siswa
yang lambat menyelesaikan latihan atau untuk memberikan tambahan bimbingan bagi
semua peserta didik yang kurang dalam menyelesaikan tuntutannya. Ternyata para
siswa yang lambat menguasai gerak sangat gembira dan bersemangat. Artinya
pembelajaran system tutor sebaya ini dapat menggairahkan siswa belajar
khususnya Olahraga
b. Manfaat peran tutor sebaya : • Memberikan pengaruh positif,
baik dalam pendidikan dan sosial pada guru, dan tutor sebaya. • Merupakan cara
praktis untuk membantu secara individu dalam menyelesaikan tugas gerak •
Pencapaian kemampuan menyelesaikan gerakan dengan bantuan tutor sebaya hasilnya
bisa menjadi di luar dugaan atau lebih baik. • Jumlah waktu yang dibutuhkan
peserta didik untuk menyelesaikan materi gerakan akan meningkat secara
signifikan, bergantung pada kualitas tutor sebaya yang digunakan. Dengan
strategi ini para siswa yang lemah akan mengambil manfaat dari perhatian yang
tak terbagi dari guru. Guru sering tidak punya cukup waktu untuk memberikan
bantuan individu seperti ini kepada tiap peserta didik. Itulah sebabnya dengan
adanya turor sebaya, maka para guru dan siswa yang kurang akan merasa sangat
terbantu. Namun, ini harus dijelaskan dengan seksama kepada tutor sebaya
tentang hal apa saja yang harus mereka lakukan. Tutor harus mengetahui harapan
kepada mereka. III. Kriteria, Keuntungan, hakikat partisipasi Tutor Sebaya
dalam pembelajaran a. Kriteria dan Keuntungan Tutor Sebaya Learning to do
(belajar untuk melakukan sesuatu) merupakan salah satu dari empat pilar yang
ditetapkan oleh UNESCO. Learning to do dapat terwujud manakala sipembelajar
(siswa) difasilitasi untuk mengatualiasasikan kompetensi, bakat, dan minat yang
mereka miliki. Penerapan metode tutor sebaya dalam pembelajaran akan dapat
mendukung pilar belajar Learning to do, jika siswa yang dipilih menjadi tutor
memenuhi kriteria-kriteria yang betul. Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah
seperti pendapat pakar berikut. Ada empat kriteria menjadi tutor sebaya yang
ditawarkan oleh Moh. Surya (1985), yaitu: 1) tutor membantu murid/siswa yang
kesulitan berdasarkan petunjuk guru, 2) murid/siswa yang dipilih sebagai tutor
hendaknya diperhatikan segi kemampuan dalam penguasaan materi dan kemampuan
membantu orang lain, 3) dalam pelaksanaannya, tutor-tutor ini dapat membantu
teman-temannya baik secara individual maupun secara kelompok sesuai petunjuk
guru, 4) tutor dapat berperan sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan
kelompok, dalam hal tertentu dia dapat berperan sebagai pengganti guru.
Kesimpulannya bahwa siswa yang dapat ditunjuk sebagai tutor harus memiliki criteria
yang jelas yaitu siswa yang memiliki keunggulan kompetensi dibandingkan dengan
siswa lain di kelasnya. Selanjutnya, Moh. Surya (1985) juga menguraikan bahwa
keuntungan metode tutor sebaya adalah 1) adanya suasana hubungan yang lebih
dekat dan akrab antara murid/siswa yang dibantu dengan murid/siswa sebagai
tutor yang membantu, 2) bagi tutor sendiri sebagai kegiatan remedial yang
merupakan kesempatan untuk pengayaan dalam belajar dan juga dapat menambah
motivasi belajar, 3) bersifat efisien, artinya bisa lebih banyak siswa dibantu,
dan 4) dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri. Dari uraian
di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa metode tutor sebaya dapat
menimbulkan sebuah kekuatan/penguatan (reinforcement) baik bagi siswa yang
dibantu maupun siswa yang membantu dalam mengkonstruksi pengetahuan/konsep,
karena tutor sebaya dibangun dengan jalinan kedekatan dari kasih sayang. Dengan
demikian penerapan metode tuto sebaya dalam pembelajaran akan dapat
meningkatkan prestasi belajar. Tutor harus bekerja dengan peserta didik yang
lebih muda dengan cara yang tenang dan penuh kooperatif, ramah, jujur, dan
terhindar dari gangguan. Berikut ini contoh teknik strategi tutor sebaya dalam
menyelesaikan materi penjas, antara lain: Teknik Passing. Guru mata pelajaran
mengajarkan kepada tutor tekhnik membantu siswa yang kurang, sebagai berikut:
a) mengajarkan sikap yang benar dalam pasing, penempatan bola dan ayunan tangan
b) Memberikan kesempatan kepada siswa yang kurang untuk menyelesaikan sendiri
tugas tersebut, bantuan seperlunya dari tutor. c) Guru mata pelajaran memantau
kegiatan tutor seperlunya. d) Tutor diberi kesempatan memimpin Pembelajaran
untuk pembahasan penyelesaian materi penjas.
5.
Direct Instruction/ Model Pengajaran Langsung
Dasar
teori: model ini mengambil filosofi dasar dari aliran behavioralistik dimana
stimulus dan respon memegang peranan penting. Siswa diajarkan untuk melakukan
kegiatan yang benar dengan kontrol yang ketat. Model ini menuntut siswa
melaksanakan apa yang direncanakan oleh guru dengan konsekeuensi adanya
“reward”. Guru adalah model yang baik dan harus sangat menguasai materi yang
diberikan kepada siswa. Adalah sebuah kesalahan ketika menempatkan guru sebagai
dewa yang tidak pernah salah. Cara ini akan sangat baik ketika tingkat
penguasaan guru terhadap materi, siswa, lingkungan, skenario sangat-sangat
“exelence”. Arti mengajar bagai guru dan belajar bagi siswa. Bagi guru: Guru
adalah sumber utama dari semua perencanaan yang ada, Guru menentukan isi,
tempat, aktivitas belajar dan peningkatan pembelajaran, Guru harus dapat
mentranser ilmu dengan efektif dan efisien, Guru harus dapat memanfaatkan semua
sumber yang ada untuk terlaksananya proses belajar, Guru disamping merencanakan
juga merupakan pelaksana dari perencanaan yang diimplementasikan kepada siswa.
Bagi
siswa: Siswa belajar dari hal yang mudah ke sukar, sederhana ke komplek, Siswa
harus dengan jelas mengerti tugas yang menjadi bahan ajar dan dipelajari
termasuk kreteria keberhasilan, Belajar merupakan konsekuensi yang akan ada
“reward”, Siswa membutuhkan banyak bantuan dalam mempelajari bahan yang
dipelajari, Dalam belajar siswa berhak untuk mendapatkan umpan balik agar
terjadi proses belajar dengan benar.
a.
Keahliah Guru dan Analisis Kontek
Domain
belajar yang diutamakan secara berurutan sebagai berikut: Pertama: Psikomotor,
Kedua: Cognitif, Ketiga: Affectif. Siswa lebih banya waktu untuk melakukan
praktek, Praktek harus sesuai dengan tujuan dan belajar secara lebih individu
meskipin itu dalam kelompok, Siswa yang latihan akan lebih mendapatkan
keberhasilan yang tinggi, Guru yang efektif harus mendesain agar menciptakan
lingkungan belajar, Guru yang efektif adalah guru yang memiliki kemampuan
komunikasi yang baik, Perkembangan isi pelajaran harus meningkatkan
pembelajaran.
b.
Penilainan Proses Belajar Mengajar
Penilaian
terdiri atas formal dan informal; Formal dilakukan dengan melakukan: Siswa
diberikan daftar keberhasilan pencapaian belajar dari setiap materi yang
dipelajari, ketika telah mencapai bahan yang telah dipelajari baru kemudian
dapat naik pada meteri berikutnya, Dilakukan tes secara periodik, dengan test,
quizzes, oral test, skill test dengan kreteria yang telah dibuat baik acuan
norma atau patokan, Pengamatan terhadap kemempuan siswa, ketika dianggap bisa
baru melanjutkan pada tahap berikutnya, Observasi yang dilakukan oleh sesama
siswa, Informal: Jika siswa 80% sudah menguasai maka pelajaran dilanjutkan pada
tingkatan selanjutnya, Guru memonitor secara sampling terhadap kinerja siswa.
c.
Modifikasi Instruksional Untuk Pendidikan
Jasmani
Metode
ini sebenarnya paling baik didesain untuk pembelajaran keterampilan konsep dan
gerak dasar, ketika ingin mengembangkan afektif ataupun kognitif penggunaan
model ini tidak akan begitu efektif. Pembelajaran yang dapat menggunakan model
ini. Model ini akan baik jika dipergunakan untuk materi-materi sebagai berikut:
Olahraga individu, Olahraga team (tetapi khusus untuk pemula dan menengah),
Menari, Aerobik (semua pembelajaran yang membutuhkan bantuan guru secara langsung),
Olahraga yang gerakannya diulang-ulang (angkat beban, senam, streaching),
Olahraga non-kompetisi.
Merupakan model pembelajaran yang paling
dikenal dimana guru secara langsung menyusun, mengarahkan, membimbing dan
mengevaluasi apa yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Model ini dapat
dikatakan dengan slogan “ guru bicara siswa melaksanakan” atau “guru punya
perintah siswa punya capek”. Dalam model ini peranan guru mencapai 80% dimulai
dari menyiapkan bahan, memberikan skill, memberikan contoh, memberikan
feedback, bahkan sampai langkah yang dilakukan oleh siswa dikontrol oleh guru.
Terkesan dalam metode ini guru adalah tuhan yang menentukan apa dan semua yang
akan dipelajari serta memberi kabel kepada siswa status keberhasilan belajar.
Proses belajar mengajar berlangsung satu arah dengan guru sebagai komandan dan
siswa sebagai pelaksana. Domain yang menjadi urutan dalam model ini adalah
psikomotor, kognitif baru afektif. Meskipun cara ini sebagai cara yang dianggap
kuno tetapi cara ini banyak dipakai karena alasan praktis mudah dan memang cara
yang sudah turun-temurun diperoleh, dengan cara ini guru dapat mengontrol
belajar siswa dan menguasai semua lini. Lemahnya cara ini ketika guru tidak
kompeten maka akan mengakibatkan PBM tidak berjalan dengan baik. Cara ini juga
dapat dikatakan dengan ibaratnya “dilaksanakan seperti membuka buku sampai
dengan menutup kembali pada halaman akhir” merupakan tugas guru.
Secara
filosofi model ini didasarkan pada teorinya Skinner sebagai aliran behavioral
yang kental dengan adanya stimulus dan respon. Sehingga model ini akan banyak
adanya rangsangan dan ”hadiah” sebagai akibat dari respon yang diberikan dan
dikenal istilah reward dan punishment. Ketika siswa melakukan hal yang
baik maka guru akan memberikan reward potitif, dan ketika melakukan hal yang
salah maka akan diberikan reward negatif. Proses belajar mengajar mengukuti
alur sebagai berikut Shaping, modeling, practice, feedback, and reinfocement
(metzler: 165). Model ini dalam mendidik siswa dalam ranah kognitif, afektif
dan psikomotor memang mengkhususkan diri mendidik diutamakan adalah mendidik
psikomotor, kognitif baru orientasi ketiga afektif. Sehingga ketika ingin
membelajarkan anak untuk belajar gerak dengan materi tertentu dan akan menuntut
kualitas maka pakailah model ini.
Dasar
teori, dari kajian kurikulum pendididikan jasmani sport education memiliki
pengertian, Sport education is a curriculum that can be espanded far beyond
the scholl to encompass many sport activities throughout the community (Jewet:
171). Dan hal ini sejalan juga dengan model pembelajaran yang menganut sport
education model. Dari sisi kurikulum menjadikan sport education model
sebagai kerangka besar dan dari model pembelajaran juga disediakan model dengan
istilah yang sama. Beberapa kurikulum pendidikan jasmani yang dikenal antara
lain sport education, Fitnes education, personal meaning, movement Analysis,
Development model.
Dasar
teori yang dipergunakan dalam model ini (sport education) adalah seperti apa
yang diungkapkan oleh Darly Siedentop dimana diambil filosifi bahwa olahraga
adalah bentukan dari permainan/bermain. Dengan memberikan suatu tempat yang
khusus pada masyarakat dan telah berkembang sesuai dengan sejarah dan global.
Jika olahraga diterima sebagai sebuah bentuk dari bermain maka nilai terkandung
akan membetuk masyarakat dan secara resmi merupakan proses bagaimana orang
datang dan belajar untuk berpartisipasi dalam budaya olahraga. Budaya yang
dimaksud adalah pelaksanaan nilai dan tatacara yang terkandung dalam olahraga.
Sport education diadaptasi dengan adanya pertandingan-pertandingan, sehingga
siswa akan memiliki jiwa yang sportit, belajar nilai, skill, ritual, peraturan,
tradisi dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan olahraga. Sehingga ketika
menerapkan pembelajaran model ini hal yang terpenting adalah mendesain
pembelajaran sampai pada kompetisi. Siswa diberi kesempatan untuk mengambil
bagian, berperan mengambil bagian pada hal yang diminati dan dapat dilakukan.
Tidak semua siswa mampu menjadi atlet, sehinga siswa yang kurang menyukai
keterlibatan langsung dapat berperan dan belajar dengan menjadi wasit, hakim
garis, P3K, pemandu sorak, suporter yang baik, pencari data, menejer, pelatih,
asisten pelatih, tukang pijat dan masih banyak bagian lagi yang kesamuanya dilakukan
untuk proses pembelajaran. Ciri utama dari model ini adalah adanya kompetisi
dan siswa diajak untuk berfikir bagaimana caranya agar kita dapat mengikuti,
merasakan, melaksanakan, terlibat dalam kompetisi dengan segalam adat istiadat
kecabangan yang diikuti. Model ini dapat dipergunakan untuk siswa kelas 4
sekolah dasar ke atas. Arti mengajar bagai guru dan belajar bagi siswa, bagi
guru: Diperlukan penggabungan atau kombinasi penggunaan strategi, fasilitas dan
variasi dalam belajar. Strategi ini termasuk direct teaching, cooperative,
peer, small group teaching. Guru harus mengkondisikan adanya pertandingan
(musim kompetisi) untuk siswa. Guru mengarahkan siswa tentang nilai, tradisi
yang berhubungan dengan kecabangan yang diikuti. Guru harus merencanakan agar
siswa dapat terfasilitasi agar mendapat kesempatan untuk belajar dan
bertanggungjawab dalam mengambil peranan dalam sesi kompetisi.
Aktivitas
belajar
|
Domain
|
Membuat
keputusan organisasi (siswa sebagai event organiser)
|
Kognitif
afektif
|
Latihan (siswa
sebagai pemain)
|
Psikomotor
Kognitif
affektif
|
Latihan (siwa
sebagai pelatih)
|
Kognitif
Affektif
psikomotor
|
Selama bermain
(siswa sebagai pemain)
|
Psikomotor
Kognitif
affektif
|
Selama bermain
(siswa sebagai pelatih)
|
Kognitif
(strategi, taktik)
Affektif
(kepemimpinan),
psikomotor
|
Dst tergantung
keterlibatan siswa dalam kompetisi/pertandingan…
|
Bagi siswa: Dengan
bimbingan dan fasilitasi dari guru siswa membuat banyak keputusan apa yang
harus dilakukan dan bertanggungjawab atas keputusan tersebut. Kesempatan untuk
siswa agar mempelajari setiap kejadian dan masuk dalam pengambilan keputusan.
Siswa bekerjasama dalam susunan team untuk mencapai tujuan. Mempelajari
olahraga dengan Aktif, dan sebagai partisipan.
Siswa dapat
memperkirakan perkembangannya dengan baik untuk mereka sendiri tetapi terkadang
dibutuhkan bimbingan dari guru. Model ini sungguh memberikan hal yang nyata
dari pengalaman olahraga yang secara umum disusun dengan setting keikutsertaan
aktif dalam kompetisi olahraga.
d.
Keahliah Guru dan Analisis Kontek
Dalam
model ini aspek yang dikembangkan secara berurutan: Dalam model ini domain yang
dikembangkan tergantung dari apa yang ditekankan dan dalam setiap bagian,
sehingga model ini adalah model yang mengembangkan semua ranah dalam domain
kognitif, afektif dan psikomotor. Hal ini terjadi karena model ini dalam
pelaksanaannya diperlukan penggabungan/kombinasi dari model-model pembelajaran
yang lain. Sehingga dapat sedikit dicontohkan bagimana kontek pengembangan
domain ini tergantung dari aktivitas belajar yang dilakukan atau peran apa yang
diambil siwa untuk mensukseskan kompetisi/pertandingan:
Penilainan proses
belajar mengajar, Penilaian dalam model ini lebih banyak menekankan pada
proses, proses bagaimana siswa berusaha untuk menguasai nilai dan tradisi dari
kompetisi kecabangan. Sehingga masuk di dalamnya juga penilaian terhadap
keterampilan dasar, pengetahuan peraturan dan strategi, kinerja ketika
pertandingan dan penguasaan taktik, keanggotaan dalam team, tingkahlaku yang
baik. Modifikasi instruksional untuk pendidikan jasmani. Model ini sangat
terbuka luas untuk diadakan modifikasi dan model ini menerima semua jenis
modifikasi. Hal utama yang membedakan model ini dengan model lain terletak pada
harus adanya kompetisi sebagai suatu titik kultimasi dari pelajaran yang sedang
dilaksanakan. Sehingga semua modifikasi tentang peraturan, peralatan, lapangan,
latihan fisik, program semua diterima dalam model ini. Yang tidak diterima
adalah tidak ada kompetisi.
e.
Skenario Model Dalam Sport Education
Ketika
sekolah telah menetapkan model ini maka diharapkan seluruh sekolah konsekuen
dengan kegiatan yang dilaksanakan. Guru menyusun rencana kecabangan yang akan
dipetandingkan atau dikompetisikan pada akhir periode waktu ajar. Guru
menentukan apa saja yang diperlukan untuk mensukseskan kompetisi tersebut,
berdasarkan hal ini diberikan kepada siswa dan siswa dengan kemampuan
masing-masing berusaha untuk mengambil peran yang dapat dilaksanakan. Dalam hal
ini proses PBM yang mengajarkan keterampilan teknik ataupun taktik setiap siswa
harus mengikuti, yang menjadi hal bahwa model ini berbeda adalah siswa
mengambil peran dan memperdalam ke salah satu satu bagaian dari yang dibutuhkan
untuk kepentingan pelaksanaan kompetisi. Selama proses pembelajaran dan
kegiatan yang berhubungan dengan kecabangan siswa berkegiatan agar memperdalam
keahliannya yang pada akhirnya dipertunjukkan dalam kompetisi agar kompetisi
berjalan sukses. Sehingga dalam prakteknya setiap siswa tidak akan sama hal
yang dikembangkan (kognitif, afektif dan psikomotor). Untuk siswa yang memilih
menjadi pelatih maka dia harus mengembangkan kemampuan dan memperkuat kognitif
afektif dan tentunya mensyaratkan psikomotor yang baik. Ketika siswa memilih
untuk menjadi pemain maka psikomotor yang akan didalami. Dalam model ini
sekolah yang menggunakannya seperti akan memiliki tradisi, tradisi untuk
berlatih belajar dan akhirnya bertanding dengan mengembangkan semua ranah dalam
pendidikan. Peran apa yang akan diambil oleh siswa? Bagaimana mengembangkannya?
Merupakan pekerjaan pengembangan dalam pembalajaran dan pembelajaran tambahan
yang akan menuntut persiapan dan keseriusan dari sekolah.
6.
Model Tanggung Jawab Pribadi dan Sosial
A.
Model Hellison
Salah
satu model pembelajaran pendidikan jasmani yang termasuk dalam katagori model
rekonstruksi social adalah model Hellison, (1995), yang berjudul Teaching
Responsibility Through Physical Activity. Pembelajaran pendidikan jasmani
dalam model ini lebih menekankan pada kesejahteraan individu secara total,
pendekatannya lebih berorientasi pada siswa, yaitu self-actualization dan
social reconstruction. Steinhart mengatakannya sebagai model humanistic. Model
pembelajaran pendidikan jasmani dari Hellison ini diberi nama level of
affective development. Tujuan model Hellison ini adalah meningkatkan
perkembangan personal dan responsibility siswa dari irresponsibility,
self control, involvement, self direction dan caring melalui berbagai
aktivitas pengalaman belajar gerak sesuai kurikulum yang berlaku. Hellison
dalam bukunya ini mengungkap beberapa bukti keberhasilan modelnya dalam
mengatasi masalah pribadi dan sosial siswa. Namun demikian Ia juga menyadari
akan beberapa kritik yang dilontarkan terhadap modelnya ini misalnya produk
social dan personal dari model ini walaupun penting namun tidak berhubungan
secara spesifik dengan subjek mater pendidikan jasmani seperti keterampilan
olahraga atau kebugaran tetapi bersifat umum berlaku juga pada pelajaran lain.
Model Helison ini sering digunakan untuk membina disiplin siswa
(self-responsibility) untuk itu model ini sering digunakan pada sekolah-sekolah
yang bermasalah dengan disiplin siswanya. Hellison mempunyai pandangan bahwa:
perubahan perasaan, sikap, emosional, dan tanggung jawab sangat mungkin terjadi
melalui penjas, namun tidak terjadi dengan sendirinya. Perubahan ini sangat
mungkin terjadi manakala penjas direncanakan dan dicontohkan dengan baik dengan
merefleksikan qualitas yang diinginkan. Potensi ini diperkuat oleh keyakinan
Hellison bahwa siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang
baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”. Melalui model ini
guru berharap bahwa siswa berpartisipasi dan menyenangi aktivitas untuk
kepentingannya sendiri dan bukannya untuk mendapatkan penghargaan ekstrinsik.
Fair play dalam penjas akan direfleksikan dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh
karena itu pada dasarnya model Hellison ini dibuat untuk membantu siswa
mengerti dan berlatih rasa tanggung jawab pribadi (self-responsibility) melalui
pendidikan jasmani.
1. Tanggung Jawab Pribadi Rasa
tanggung jawab pribadi yang dikembangkan dalam model ini terdiri dari lima
tingkatan, yaitu level 0, 1, 2, 3, dan level 4. a) Level 0: Irresponsibility
Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang
diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek,
menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Contoh lain
misalnya: di rumah: menyalahkan orang lain di tempat bermain: memanggil nama
jelek terhadap orang lain di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang
menjelaskan dalam Penjas: mendorong orang lain pada saat mendapatkan peralatan
olahraga. b) Level 1: Self-Control Pada level ini anak terlibat dalam
aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa
yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan
aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya: di rumah:
menghindari dari gangguan atau pukulan dari saudaranya walaupun hal itu tidak
disenanginya. di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain bermain di
kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat untuk berbicara dengan temannya.
dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus. c) Level 2: Involvement Anak
didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras,
menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk
belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya: di rumah:
membantu mencuci dan membersihkan piring kotor di tempat bermain: bermain
dengan yang lain di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang
diberikan dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan
tidak bisa d) Level 3: Self-responsibility Pada level ini anak didik
didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti
bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu
membuat keputusan secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana
mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau
urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti
ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya
menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan
bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya: di
rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang menyuruh di tempat bermain:
mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh di kelas: belajar sesuatu yang
bukan merupakan bagian dari tugas gurunya dalam Penjas: berusaha belajar
keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar pelajaran Pendidikan Jasmani
dari sekolah. e) Level 4: Caring. Anak didik pada level ini tidak hanya
bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan
membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan
sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi partner teman yang
tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan
itu. Beberapa contoh misalnya: di rumah: membantu memelihara dan menjaga
binatang peliharaan atau bayi. di tempat bermain: menawarkan pada orang lain
(bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain. di kelas:
membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah pelajaran. dalam Penjas:
antusias sekali untuk bekerja sama dengan siapa saja dalam Penjas.
2) Strategi
pembelajaran
Terdapat
tujuh strategi pembelajaran yang digunakan Hellison dalam mengajar tanggung
jawab pribadi melalui penjas, yaitu:
a) Penyadaran
(awarness)
b) Tindakan
c) Refleksi
d) Keputusan pribadi
e) Pertemuan kelompok
f) Konsultasi
g)
Kualitas pengajar
Strategi
penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk menyadarkan siswa tentang definisi
tanggung jawab baik secara kognitif maupun dalam bentuk tindakan. Strategi
refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa mengevaluasi sendiri mengenai
komitmen dan tandakan rasa tanggung jawabnya. Strategi keputusan pribadi dan
pertemuan kelompok dimaksudkan untuk memberdayakan siswa secara langsung dalam
membuat keputusan pribadi dan kelompoknya. Strategi konsultasi dan kualitas
mengajar dimaksudkan untuk menyediakan beberapa struktur dan petunjuk bagi
siswa untuk dapat berinteraksi mengenai kaulitas rasa tnggung jawab yang
dikembangkannya.
3) Contoh
Bentuk Latihan Levels of Affective Development Pembinaan rasa tanggung
jawab melalui pendekatan model Hellison dilakukan secara terintegrasi dalam
pelajaran Penjas dan berlangsung secara terus menerus semenjak awal hingga
akhir tahun ajaran. Penjelasan tentang tingkat perkembangan rasa tanggung jawab
pribadi yang terdiri dari lima tingkatan tersebut di atas terlebih dahulu harus
diberikan yang selanjutnya diikuti oleh latihan-latihan. Beberapa contoh
latihan dalam Levels of Affective Development sebagai berikut.
a) Pada kasus mengambil peralatan olahraga. Guru menanyakan dan menyuruh
siswa tentang bagaimana perilaku seseorang pada level 0, level 1, 2, 3, dan 4
pada waktu mengambil peralatan itu.
b) Pada saat
belajar keterampilan baru (new skill), siswa disuruh bekerja pada level yang
paling baik. Selanjutnya guru memberikan penghargaan, pujian, atau pinpointing
terhadap siswa yang bekerja lebih baik.
c) Pada saat siswa
berperilaku menyimpang, siswa tersebut mendapat “time out” dan diberi tugas
untuk memikirkan mengapa perilaku menyimpang adalah level 0. Selanjutnya
setelah siswa tahu perilaku siswa pada level 1 atau level yang lebih tinggi
serta cukup meyakinkan guru bahwa ia mampu berperilaku pada level yang lebih
tinggi, maka gurunya mengijinkan siswa itu untuk kembali mengikuti pelajaran
sebagaimana mestinya.
d) Pada saat siswa
mengeluh tentang perbuatan siswa yang lainnya, guru menyuruh anak yang mengeluh
itu untuk mengidentifikasi pada level mana perbuatan siswa yang dikeluhkan
tersebut serta bagaimana cara-cara bergaul dengan siswa yang dikeluhkan
tersebut.
e) Pada kasus
kerja kelompok. Sebelum melakukannya guru dan siswa mendiskusikan bagaimana
perilaku siswa pada level 4 dalam bekerja sama pada sebuah group. Topik diskusi
adalah bagaimana bekerja sama dengan siswa yang mempunyai level 0 dan level 1.
4) Evaluasi
Levels of Affective Development Program evaluasi dalam model ini merupakan
masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan
penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan
pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan rasa
tanggung jawab ini dan seringkali menjadi focus utama adalah sebagai berikut,
a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan rasa
tanggung jawab
e)
wawancara dengan orang lain
B.
Model Canter’s Asertif
Selain
model Hellison sebagaimana tersebut di atas, terdapat model lain dalam
pendidikan jasmani yang sering digunakan secara terintegrasi untuk
mengembangkan disiplin siswa dengan strategi yang relative sama, yaitu model
disiplin assertif. Model ini dikembangkan oleh Canter (1976). Ia membuat model
pembinaan disiplin dengan nama Canter’s Assertive Discipline. Perbedaan model
yang dikembangkan oleh Hellison dan Canter terutama terletak pada motivasi yang
dijadikan landasan untuk mengembangkan didiplin siswa. Model Hellison lebih
menekankan pada motivasi intrinsic yang dilandasi pada keyakinan bahwa: siswa
secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan
ekstrinsik adalah “counter productive”. Sementara itu, model Canter lebih menekankan
pada motivasi ekstrinsik, seperti penghargaan, pujian, dan dorongan, termasuk
konsekuensi.
1) Model ini didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut:
a)
Semua siswa dapat berperilaku baik
b)
Pengawasan yang ketat atau kokoh akan
tetapi tidak pasif dan tidak menakutkan adalah layak untuk diberikan.
c)
Harapan atau keinginan guru yang
rasional mengenai perbuatan siswa yang sesuai dengan perkembangannya (seperti
dibuat dalam peraturan) harus diberitahukan kepada siswa.
d)
Guru harus mengharapkan siswa berperilaku secara layak dan pantas namun harus
mendapat dukungan dari orang tua siswa, guru lain, dan kepala sekolah.
e)
Tingkahlaku siswa yang baik harus segera didukung atau dihargai sementara
tingkahlaku yang tidak baik harus mendapat konsekuensi yang logis.
f)
Konsekuensi logis akibat penyimpangan
perilaku harus ditetapkan dan disampaikan kepada siswa.
g)
Konsekuensi harus dilaksanakan secara
konsisten tanpa bias.
h)
Komunikasi verbal dan non verbal harus disampaikan dengan kontak mata antara
guru dan siswa.
i) Guru harus melatih keinginan-keinginan atau
harapkan-harapan dan konsekuensi secara mental dengan konsisten kepada siswa.
2) Contoh harapan yang dituangkan dalam bentuk peraturan
dikembangkan di Riverside Elementary School oleh Bell (1995).
1) menghargai orang
lain (respect for others)
2) bermain jujur (play
fair)
3) bermain dengan
tidak membahayakan (play safely)
4) lakukan yang
terbaik (do your best)
5) ikuti petunjuk guru (follow directions)
3) Contoh
konsekuensi (Hill, 1990) sebagai berikut:
1) peringatan
2) time-out 5 menit
3) time-out 10 menit
4) memanggil orang tua
siswa
5) mengirim siswa ke kepala sekolah
4) Ciri
Keberhasilan Model Hellison dan Canter Assertive.
Pertanyaan
yang sering muncul dilontarkan oleh para pendidik Penjas adalah model mana yang
paling efektif digunakan? Apakah model yang didasarkan pada motivasi ekstrinsik
(assertive discipline) atau motivasi instrinsik (levels of affective
development)? Pertanyaan ini agak sulit dijawab karena nampaknya keberhasilan
pembinaan disiplin bukan terletak pada jenis model yang digunakan akan tetapi
terletak pada bagaimana karakteristik model yang digunakan tersebut. Paling
tidak ada empat karakteristik model pembinaan disiplin yang dapat dikatakan
berhasil, yaitu sebagai berikut:
a) Siswa betul-betul memahami dan mengerti pelaksanaan sistem pembinaan
disiplin berikut alasan-alasan mengapa pembinaan disiplin perlu diterapkan.
Oleh karena itu hendaknya sistem pembinaan disiplin dijelaskan secara teliti
dan hati-hati kepada siswa. Selanjutnya diikuti oleh contoh-contoh yang jelas
dan latihan-latihan secara memadai yang dimulai dari setiap awal tahun ajaran.
Sehingga siswa akan mengerti mengapa pembinaan disiplin sangat penting dan
siswa juga mengerti bagaimana pembinaan disiplin itu diterapkan.
b) Guru secara
konsisten menerapkannya. Sekali kegiatan rutin dan peraturan diterapkan, maka
guru harus terus menerapkan dan menggunakan standar yang sama dari hari ke
hari, sehingga siswa akan mengerti dan memahami betul apa-apa yang sebenarnya
diharapkan (expectations) oleh gurunya. Hal ini sangat mudah dikatakan tetapi
sangat sulit diterapkannya. Guru lebih cenderung menerapkan sistem pembinaan
disiplin ini hanya pada awal-awal pertemuan saja. Misal: pada awal-awal
pertemuan, pada saat guru bilang “stop”, semua siswa meletakkan bola yang
dipegangnya. Namun demikian, setelah beberapa pertemuan, seorang siswa tidak
meletakkan bola setelah gurunya bilang “stop” dan guru mengabaikannya. Dalam
contoh itu, guru kurang konsisten dalam menerapkan sistem pembinaan disiplin.
Secara bertahap, bagaimanapun, hal ini menjadi bertambah banyak: dua siswa,
tiga siswa, enam siswa yang akhirnya pembinaan disiplin mejadi pudar kembali.
c) Sistem pembinaan disiplin itu didukung oleh kepala sekolah dan guru
kelas. Pada saat tertentu mungkin guru Penjas akan menemukan siswa yang tidak
disiplin; siswa tidak mau menerapkan peraturan dan penghargaan maupun “time
out” tidak berpengaruh terhadap disiplin siswa tersebut. Dalam kesempatan itu,
guru Penjas memerlukan bantuan kepala sekolah dan guru kelas. Mereka mungkin
menyadari dan mengetahui mengapa siswa berbuat seperti itu dan bagaimana
strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah itu. Oleh karena itu maka
salah satu konsekuensi bagi siswa yang berperilaku menyimpang adalah harus
berhadapan dengan kepala sekolah yang mungkin akan dapat membantu menyelesaikan
masalah yang dihadapi oleh guru Penjas.
d) Sistem
pembinaan disiplin itu harus didukung oleh orang tua siswa. Seperti halnya
bantuan kepala sekolah dan guru kelas, manakala orang tua siswa mengetahui dan
mendukung sistem pembinaan disiplin yang digunakan oleh guru Penjas, maka orang
tua siswa akan cenderung mau membantu guru Penjas dalam memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi siswa dari orang tua tersebut.
5) Menghadapi
Kenyataan Pembahasan dalam uraian sebelumnya lebih banyak menyoroti
bagaimana mengurangi masalah disiplin siswa. Namun demikian, kebanyakan guru,
bahkan dalam situasi yang ideal sekalipun, mungkin harus merasakan dirinya
terpaksa menerima kenyataan mendapatkan seorang atau beberapa siswa yang kurang
disiplin. Sudah barang tentu hal ini akan menimbulkan perasaan marah atau
menyakitkan bagi gurunya. Sehubungan dengan itu ada beberapa strategi yang
dapat dilakukan oleh para guru untuk mengurangi rasa kecewa atau marah tersebut
sehingga bisa menguntungkan baik bagi guru maupun siswanya:
a) Mencoba
menyadari bahwa perilaku menyimpang bukan sifat perorangan: semua orang dalam
kondisi tertentu bisa saja berbuat hal yang sama. Untuk itu cobalah untuk tidak
marah atau menyesal: ambilah nafas dalam-dalam dan selanjutnya perlakukan anak
tersebut sebagaimana mestinya.
b) Lakukan pendekatan secara pribadi. Dari pada guru berteriak-teriak
memarahi siswa yang tidak disiplin dari kejauhan sementara siswa yang lainnya
menonton dan mendengarkan kejadian tersebut, maka lebih baik guru melakukan
pendekatan secara pribadi. Dekati siswa yang kurang disiplin tersebut, panggil
ke pinggir lapangan, dan lakukan interaksi singkat sehingga siswa lain tidak
mengetahuinya dan tetap melakukan aktivitas belajar sebagaimana mestinya. Kalau
pilihan yang ke dua itu sering dilakukan oleh gurunya, maka bukan hal yang
mustahil siswa akan mempunyai pikiran yang positif terhadap lingkungan belajar
Penjas yang diperolehnya di sekolah.
c) Penjelasan kepada siswa. Gunakan nama siswa untuk memanggil siswa itu,
jelaskan kepada siswa peraturan yang dilanggar secara perlahan dan menyakinkan
dan berilah kesempatan untuk berpikir. Beri kesempatan untuk megemukakan
pendapatnya, perhatikan pendapat siswa dengan penuh perhatian dan peghargaan,
dan berusaha untuk mengerti apa maksudnya. Setelah selesai interaksi, guru
menyimpulkan sambil memberitahu konsequensi yang harus dilakukan akibat
penyimpangan perilaku yang diperbuatnya.
d) Usahakan jangan
pernah marah kepada siswa dalam situasi dan kondisi apapun. Interaksi yang
tenang dan perlahan jauh lebih efektif daripada marah. Bahkan meskipun siswa
secara jelas melakukan perilaku menyimpang, guru harus menjaga harga dirinya.
Siswa yang sakit hati, marah, atau frustasi karena melakukan kesalahan, harus
disadarkan oleh gurunya bahwa apa yang dilakukannya itu adalah pelanggaran
terhadap peraturan, namun hal itu wajar saja apabila dilakukan secara tidak
sadar atau lupa.